Pages

Saturday 15 June 2019

SEJARAH : DEMOKRASI TERPIMPIN DI INDONESIA


A. Pendahuluan
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan keputusan politik tertinggi yang melahirkan bangsa dan negara Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan titik puncak perjuangan fisik dalam membangun bangsa dan negara merdeka, keputusan politik yang menandai kemerdekaan Republik Indonesia secar de facto segera disusul oleh beberapa keputusan penting yang melengkapi persyaratan formal sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Meskipun secara formal persyaratan sebagai negara merdeka telah dipenuhi sejak 10 Agustus 1945, namun dalam operasionalnya tidak berjalan mulus. Hal ini disebabkan oleh masih adanya campur tangan kekuatan asing terutama sekutu.

Sebagai pihak yang memenangkan perang dunia kedua. Sekutu mencoba menggugat kemerdekaan Indonesia. Semua bekas jajahan negara-negara yang tergabung dalam sekutu yang direbut agresor perang dunia II harus dikembalikan kepada mereka. Penyebab lainnya adalah masih lemahnya kualitas intelektual, ekonomi, dan politik masyarakat sehingga masih mudah dipengaruhi oleh kekuatan politik yang ada.
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut, selama 64 tahun berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ternyata bahwa masalah poko yang kita hadapi ialah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pada pokonya masalah ini berkisar pada menyusun suatu sistem politik dimana kepemimpinan cukup kuat untuk untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation buliding, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator apakah diktator ini bersifat perorangan, partai atau militer.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, indonesia telah banyak menganut sistem demokrasi mulai sistem demokrasi parlementer sampai demokrasi liberal.
Pada tanggal 05 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Dewan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semoyan “Kembali ke UUD 1945” Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi penting.
Demokrasi terpimpin lahir dalam suatu zaman yang sukar, persoalan yang muncul pada tahun 1957 itu itu sangan runyam dan komplek. Ada ketakutan terhadap tentara , ketakutan terhadap PKI, terhadap Islam, terhadap pemberontakan-pemberontakan panglima-panglima di daerah. Lalu ada lagi campur tangan dari luar negeri.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, dapat penulis rumuskan rumusan-rumusan masalah sebagai berikut :

Sejarah demokrasi terpimpin di Indonesia
Kondisi Negara Indonesia dalam masa demokrasi terpimpin
DPR Gotong Royong Demokrasi terpimpin
Peristiwa besar dalam masa demokrasi terpimpin


BAB II
SEJARAH DEMOKRASI TERPIMPIN
Pada permulaan pertumbuhannya demokrasi telah mencakup beberapa azas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya.
Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city-state) Yunani kuno merupakan demokrasi langsung yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas serta jumlah penduduknya sedikit. Lagipula ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanay merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang teridiri dari budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi bersifat demokrasi berdasarkan perwakilan.
Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan Yunani dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki abad pertengahan (600-1400). Masyarakat abad pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal. Dilihat dari sudut perkembangan demokrasi Abad pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu Magna Charta (Piagam Besar). Magna Charta merupakan semacam kontrak antara beberapa bangsawan dan raja John dari Inggris dimana untuk pertama kali seorang raja yang mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi.
Demokrasi di Indonesia telah banyak mengalami perubahan sistem demokrasi itu sendiri, sejak diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 Indonesia menggunakan sisitem demokrasi parlementer yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai, dalam periode ini yang dipakai sebagai pegangan adalah UUD 1945 tetapi sudah barang tentu belum dapat dijalankan secara murnidan konsekuen oleh karena bangsa Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya.
Kemudian pada periode berikutnya (27 Desember-17 Agustus 1950) negara Republik Indonesia menjadi negara serikat. Sebetulnya bukan kehendak seluruh bangsa Indonesia untuk memakai bentuk negara dan sisitem pemerintahan, politk dan adminitrasi negara seperti tersebut di atas, tetapi keadaan yang memaksa demikian.
Sejak Gubernur Jenderal DR. Van Mook dikirim ke Indonesia, ia memang ditugasi untuk memporak-porandakan keutuhan persatuan dan kesatuan Republik Indonesia yang baru merdeka, politik devide et impera memang dimilikinya. Ia mengusulkan untuk disetujuinya pembentukan negara dalam negara.
Pada periode berikutnya (1950-1959) dengan memperhatikan keadaan negara-negara bagian yang semakin sukar untuk diperintah sedangkan kewibawaan pemerintah Negara Federal semakin berkurang selama penyelenggaraan Konstitusi RIS, apalagi didukung kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai ragam suku bangsa, adat istiadat, agama, pulau-pulau, bahasa daerah, maka rakyat di daerah-daerah sepakat untuk kembali kebentuk negara kesatuan.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia resmi kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia walaupun konstitusinya adalah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950. oleh karenanya sistem pemerintahan tetap dalam bentuk kabinet parlementer, yaitu para menteri (kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen dan parlemen dapat menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak percaya.
Walaupun sudah kembali kepada bentuk negara kesatuan namun perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain masih terasa, ada yang menyesali keadaan ini tetapi ada pula yang menyetujuinya namun tetap memiliki ketidakpuasan kepada pemerintah pusat. Oleh karenanya pada era ini seringkali terjadi berbagai jenis pemberontakan seperatis seperti Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), Pemberontakan Andi Azis, Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan), dan lain-lain.
Oleh karena itu menurut pengamatan Presiden Soekarno, demokrasi liberal tidak semakin mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang berupa masyarakat adil dan makmur, sehingga pada gilirannya pembagunan ekonomi sulit untuk dimajukan, karena setiap pihak baik sipil (pegawai negeri sipil dan parpol) dan militer saling berebut keuntungan dengan mengorbankan yang lain.
Sebaliknya Prsiden Soekarno ingin melihat bangsa Indonesia yang kuat dan bersatu padu sebagaimana pada awal-awal kemerdekaan dulu, dari Sabang sampai Merauke. UUDS 1950 dianggap selama ini memang sudah melakukan penyimpangan-penyimpangan dari cita-cita luhur proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Dengan dalih seperti itu Presiden Soekarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin dan politik dalam negeri Republik Indoensia.

BAB III
DEMOKRASI TERPIMPIN, DIKTATORNYA SOEKARNO
A. Kondisi Negara Indonesia dalam Demokrasi Terpimpin
Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia jatuh pada masa demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi terpimpin Soekarno bertindak seperti seorang diktator, hampir semua kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif berada pada kekuasaannya. Sutan Takdir Alisyahbana menyamakan Soekarno dengan raja-raja kuno yang mengklaim dirinya sebagai inkarnasi tuhan atau wakil tuhan di dunia.
Dekrit tersebut dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini. Selain itu banyak lagi tindakan yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Prseiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan Umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat pilihan ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah sedangkan fungsi kontrol di tiadakan. Lagipula pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden disamping fungsi sebagai sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin trias politica. Dalam rangka ini harus pula dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif. Misalnya presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964 dan di bidang legislatif berdasarkan Peraturan Tata Tertib Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai mufakat.
Hal tersebut kemudian menjadikan kaburnya batas-batas wewenang antara badan eksekutif dan legislatif, keduanya seolah-olah dirangkap oleh presiden. Akibatnya fungsi dan peranan MPRS dan DPR-GR hilang. Apalagi pada waktu itu menteri-menteri diperbolehkan menjabat sebagai ketua MPRS, DPR-GR, DPA dan MA.
MPRS dan DPR-GR yang seharusnya menjadi lembaga perwakilan rakyat yang bertugas sebagai lembaga negara yang mengawasi jalannya pemerintahan pada akhirnya tunduk kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan presiden.
Demokrasi terpimpin ialah hypen pendek demokrasi yang tidak didasarkan atas paham liberalisme, sosialisme-nasional, facisme, dan komunisme, tetapi suatu faham demokrasi yang didasarkan keinginan-keinginan luhur bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, menuju satu tujuan yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur yang penuh dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Akan tetapi dalam prakteknya, apa yang dinamakan dengan demokrasi terpimpin yang mempunyai tujuan yang luhur ini tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen. Sebaliknya sistem ini sangat jauh dan menyimpang dari arti yang sebenarnya. Dalam prakteknya yang memimpin demokrasi ini bukan pancasila sebagaiman dicanangkan tetapi sang pemimpinnya sendiri. Akibatnya demokrasi yang dijalankan tidak lagi berdasarkan keinginan luhur bangsa Indonesia tetapi berdasarkan keinginan-keinginan atau ambisi-ambisi politik pemimpinnya sendiri.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi telah membawa jalannya pemerintahan jauh dari mekanisme yang ditetapkan dalam UUD 145. kondisi ini diperburuk dengan merosotnya keadaan ekonomi negara. Sebagai akibatnya, keadaan politik dan keamanan sudah sangat membahayakan keselamatan negara. Situasi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan mengadakan pemberontakan pada tanggal 30 September 1965. tujuan utama pemberontakan ialah untuk mengganti falsafah pancasila dengan falsafah lain.
Dalam periode demokrasi terpimpin pemikiran ala demokrasi barat banyak ditinggalkan. Presiden Soekarno sebagai Pimpinan Nasional tertinggi ketika itu menyatakan bahwa demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan negara Indonesia. Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakan sebagai tidak efektif dan Bung Karno kemudian memperkenalkan apa yang kemudian disebut dengan “musyawarah untuk mufakat”.
Banyaknya partai oleh Bung Karno disebut sebagai salah satu penyebab tidak adanya pencapaian hasil dalam pengambilan keputusan, karena dianggap terlalu banyak debat bersitegang urat leher. Untuk merealisasikan demokrasi terpimpin ini, kemudian dibentuk yang dikenal dengan nama Front Nasional.
B. DPR Gotong Royong Demokrasi Terpimpin
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong ini didirikan dengan Penetapan Presiden No. 04 tahun 1960 sebagai pengganti DPR peralihan yang dibubarkan dengan penetapan Presiden No. 03 Tahun 1960. DPR-GR berbeda sekali dengan badan-badan legislatif sebelumnya. Tidak hanya oleh karena dia bekerja dalam suatu sistem pemerintahan yang lain, akan tetapi juga oleh karena dia bekerja dalam suasana dimana DPR ditonjolkan peranannya pembantu pemerintah, suasana ini tercermin dalam istilah Gotong Royong. Perubahan fungsi ini tercermin di dalam tata tertib DPR-GR yang dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib tidak disebut hak kontrol seperti hak bertanya, hak interpelasi dan sebagainya.
Kelemahan DPR-GR di bidang legislatif ialah bahwa DPR-GR kurang sekali memakai hak inisiatifnya untuk mengajukan rancangan undang-undang. Selain itu DPR-GR telah membiarkan badan eksekutif mengadakan Penetapan-Penetapan Presiden atas dasar Dekrit 5 Juli 1959, seolah-olah Dekrit merupakan sumber hukum baru. Padahal dekrit sekedar untuk menuntun langkah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, tetapi sesudah itu semua perundang-undangan seharusnya berdasarkan langsung pada Undang-Undang Dasar 1945. Lagipula banyak keputusan penting (seperti pengguntingan uang, politik konfrontasi, pengambil alih perkebunan dan perusahaan asing dan sebagainya) diputuskan di luar DPR-GR.
Selain itu DPR-GR telah menerima baik Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 19 Tahun 1964, yang memberi wewenang kepada Presiden untuk “turut atau campur tangan dalam soal pengadilan” demi kepentingan revolusi, suatu ketentuan yang dengan tegas menyalahi ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa kekuasaan kehakiman terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah.
Selama masa kerjanya, DPR-GR telah mengesahkan 117 Undang-Undang, dengan perincian : tahun 1960 disahkan 5 Undang-Undang, tahun 1961 disahkan 22 Undang-Undang, tahun 1962 disahkan 19 Undang-Undang, tahun 1963 disahkan 14 Undang-Undang, tahun 1964 disahkan 36 Undang-Undang dan tahun 1965 disahkan 21 Undang-Undang.
B. Peristiwa Besar pada masa Demokrasi Terpimpin
Pada masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia, sejarah mencatat telah terjadi beberapa kali peristiwa besar, baik peristiwa yang bersifat politik, sosial maupun budaya. Antara lain :
Pemberotakan Partai Komunis Indonesia (PKI)
Penyimpangan-penyimpangan konstitusional tersebut telah mengakibatkan tidak berjalannya sistem pemerintahan yang ditetapkan dalam UUD 1945. penyimpangan-penyimpangan ini juga telah mengakibatkan memburuknya keadaan politik, keamanan, ekonomi, yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan yang gagal oleh G-30-S/PKI.
PKI secara sadar telah mendalangi dan merencanakan kudeta. Perbuatan jahat tersebut bukan saja telah menimbulkan korban jiwa dan materi yang cukup besar, bertentangan dan melanggar ketentuan UUD 1945 serta hukum-hukum lainnya yang berlaku, tetapi juga jelas-jelas bermaksud hendak mengganti falsafah Pancasila dengan falsafah lain.
Karena dalam sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali PKI mengkhianati negara, bangsa dan dasar negara, maka rakyat Indonesia menghendaki dan menuntut PKI dibubarkan. Namun pada waktu itu pimpinan negara tidak mau mendengarkan dan memenuhi tuntutan rakyat sehingga timbullah pertentangan politik antar rakyat di satu pihak dan presiden di lain pihak.
Keadaan semakin meruncing, situasi ekonomi dan stabilitas nasional semakin tidak bisa dikendalikan. Akhirnya dengan dipelopori oleh pemuda beserta rakyat disampaikanlah tuntutan-tuntutan kepada presiden pada tanggal 12 Januari 1966, yang dikenal dengan nama TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat), yakni :
1. Bubarkan PKI
2. Bersihkan kabinet dari unsur PKI
3. Turunkan harga-harga/perbaikan ekonomi














BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 , Presiden Soekarno meletakkan dasar-dasar kepemimpinannya yang dinamakan Demokrasi Terpimpin, menurut Presiden Soekarno demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang khas Indonesia yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Namun dalam prakteknya, demokrasi terpimpin cenderung bergeser maknanya. Demokrasi yang dijalankan tidak lagi dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan, namun diwarnai oleh kepentingan politik-politik tertentu. Keadaan ini telah melahirkan berbagai penyimpangan dari yang telah digariskan dalam Undang-Undang Dasar 1945. penyimpangan-penyimpangan itu antara lain :
Presiden membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum 1955 dan membentuk DPR Gotong Royong. Hal ini dilakukan karena DPR menolak Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan pemerintah.
Pimpinan Lembaga tinggi dan tertinggi negara diangkat sebagai menteri negara
MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup
Kekuasaan Presiden melebihi wewenang yang ditetapkan dalam UUD 1945. hal ini terbukti dengan keluarnya beberapa penetapan presiden sebagai produk hukum yang setingkat dengan undang-undang tanpa persetujuan DPR.
Apabila dianalisis secara sistematis dari berbagai aspek, maka pada masa Demokrasi Terpimpin adalah sebagai berikut :
NO
ASPEK
ANALISIS

1
Penyaluran Tuntutan
Tinggi tetap tidak disalurakan karena adanya Front Nasional

2
Pemeliharaan Nilai
Penghormatan HAM rendah

3
Kapabilitas
Abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju

4
Integrasi Vertikal
Atas bawah

5
Integrasi Horizontal
Berperan solidarity makers

6
Gaya Politik
Ideologi, Nasakom

7
Kepemimpinan
Tokoh Kharismatik dan paternalistik

8
Partisipasi Massa
Dibatasi

9
Keterlibatan Militer
Militer masuk ke pemerintahan

10
Aparat Negara
Loyal kepada negara

B. Saran
Dari penjelasan tersebut di atas, maka dapat penulis katakan bahwa sebenarnya secara konseptual Demokrasi terpimpin itu baik bagi perkembangan Indonesia namun secara tehnis atau pelaksanaan di lapangan demokrasi terpimpin yang dijalankan Presiden Soekarno banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran, oleh karena itu ada saran-saran yang bisa penulis sebutkan, antara lain :
Demokrasi terpimpin pada saat itu memang belum waktunya diterapkan di Indonesia
Pelaksanaan demokrasi terpimpin hendaknya diiringi dengan kondisi stabilitas nasional yang sudah stabil
Tidak dibatasinya partisipasi massa dalam menyuarakan aspirasi
Dijalankan fungsi Trias Politika secara baik, agar tidak terjadi overlapping bagi perjalanan pemerintahan.
Sebaiknya militer tidak perlu masuk ke dalam pemerintahan agar bisa konsentrasi terhadap stabilitas keamanan negara.
Konsep Nasionalis-Agamis-Komunis (Nasakom) tidak cocok diterapkan di Indonesia.
Demikian uraian singkat mengenai demokrasi terpimpin di Indonesia, akhirnya penulis menyadari masih banyak terdapat kekeliruan dalam penulisan makalah ini, kritik dan saran yang bersifat membangun selalu penulis harapkan.
Lamongan, Desember 2007
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Idrus. 1997. Hukum Tata Negara. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional.
Budiardjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasai Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Fatoni, Uwes. 2006. Sejarah Sistem Politik Indonesia. Surabaya. Unitomo.
Kansil. 1996. Tata Negara. Jakarta. Erlangga.
Kencana, Inu. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung. Refika Aditama.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Widiasarana
Indonesia.