BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kepulauan
Indonesia memiliki laut dan daratan yang luas. Para nelayan
pergi melaut dan pulang dengan membawa hasil tangkapannya.
Begitu juga di pelabuhan terlihat lalu lalang kapal yang membongkar
dan memuat barang. Sungguh menakjubkan hamparan laut yang sangat luas ciptaan Tuhan.
Sejak lama laut
telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar sukubangsa di Kepulauan Indonesia dan
bangsa-bangsa di dunia. Pelaut tradisional Indonesia telah memiliki
keterampilan berlayar yang dipelajari dari nenek moyangsecara turun-temurun.
Bagi para pelaut, samudra bukan sekadar suatu bentangan air yang sangat luas. Setiap perubahan
warna, pola gerak air,
bentuk gelombang, jenis burung, dan ikan yang mengitarinya
dapat membantu pelaut dalam mengambil keputusan atau tindakan
untuk menentukan arah perjalanan. Sejak dulu mereka sudah
mengenal teknologi arah angin dan musim untuk menentukan
perjalanan pelayaran dan perdagangan. Kapal pedagang yang
berlayar ke selatan menggunakan musim utara dalam Januari
atau Februari dan kembali lagi pulang jika angin bertiup dari
selatan dalam Juni, Juli, atau Agustus. Angin musim barat daya di
Samudera Hindia adalah antara April sampai Agustus, cara yang
paling diandalkan untuk berlayar ke timur. Mereka dapat kembali pada
musim yang sama setelah tinggal sebentar—tapi kebanyakan
tinggal untuk berdagang—untuk menghindari musim perubahan yang
rawan badai dalam Oktober dan kembali dengan musim timur
laut.
Jaringan perdagangan dan pelayaran antar pulau di
Nusantara terbentuk karena antar pulau saling membutuhkan barang-barang yang
tidak ada di tempatnya. Untuk menunjang terjadinya hubungan itu, para pedagang
harus melengkapi diri dengan pengetahuan tentang angin, navigasi, pembuatan
kapal dan kemampuan diplomasi dagang. Dalam kondisi seperti itu, muncullah
saudagar-saudagar dan syahbandar yang berperan melahirkan dan membangun
pusat-pusat perdagangan di Nusantara.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
bagaimana perdagangan nusantara pada
masa kuno?
2.
Bagaimana jalur perdagangan antara
pulau pada masa islamisasi di nusantara?
3.
Bagaimana Kehidupan perdagangan di
nusantara?
4.
Apa peran kepulauan Indonesia dan
pelayaran di asia tenggara?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui perdagangan nusantara
pada masa kuno
2. Mengetahui jalur perdagangan antara
pulau pada masa islamisasi nusantara
3. Mengetahui Bagaimana Kehidupan perdagangan
islamisasi nusantara
4. Mengetahui peran kepulauan Indonesia
dan pelayaran di asia tenggara
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perdagangan Antarpulau Di Indonesia Pada
Masa Kuno
Kawasan nusantara terdiri dari
beribu-ribu pulau yang memanjang dari barat sampai ke timur. Diantara pulau
satu dengan lainnya itu telah terjalin hubungan yang berlangsung sejak dulu,
diantaranya hubungan perdagangan, terutama pada masa kerajaan-kerajaan Islam
nusantara. Berlangsungnya interaksi perdagangan antara lain harus didukung
pengetahuan tentang angin. Indonesia yang diapit dua benua dan dua samudera
besar, wilayahnya dilalui garis khatulistiwa, sehingga Indonesia memiliki iklim
muson, yaitu iklim yang ditandai pergantian arah angin yang berlangsung selama
enam bulan sekali di daerah khatulistiwa. Dengan memanfaatkan pengetahuan
tentang perubahan arah angin, maka di sekitar bulan September-Oktober
kapal-kapal yang berada di sebelah timur akan berlayar ke sebelah barat.
Sebaliknya, pada sekitar bulan Maret-April kapal-kapal berlayar dari barat ke
arah timur.
Semula kegiatan perdagangan di
nusantara bersifat insidental, namun lambat laun terjadi perubahan menjadi
kegiatan yang berlangsung terus menerus, ramai, dan semakin menguntungkan.
Dengan demikian muncullah beberapa pusat perdagangan yang dimiliki
kerajaan-kerajaan yang wilayahnya menjangkau pantai. Adapun pusat-pusat
perdagangan sebelum tahun 1500 antara lain berpusat di sumatera tengah abad
ke-5/6, sriwijaya abad ke-7/14, melayu abad ke-14, bali abad ke-11, pajajaran
abad ke-11, pajajaran abad ke-8 sampai ke-16, majapahit abad ke-13/14,
gowa-tallo abad ke-2, ternate dan tidore abad ke-13, samudera pasai abad ke-13,
dan sebagainya.
2.2
jalur perdagangan antara pulau pada masa islamisasi di nusantara
Kehadiran Para Pedagang Dari
Berbagai Negara Ke Kerajaan islam
Berdasarkan kehadiran sejumlah
pedagang dari berbagai negeri dan bangsa di Samudera Pasai, Malaka, dan
bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome Pires, kita
dapat mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan jaringan
perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang
bersifat regional maupun internasional.
Hubungan Perdagangan Arab Dan
Nusantara
Hubungan pelayaran dan perdagangan
antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi hubungan langsung dan dalam
intensitas tinggi. Dengan demikian aktivitas perdagangan dan pelayaran di
Samudera Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat
dengan makin majunya perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah
(750-1258). Dengan ditetapkannya Baghdad menjadi pusat pemerintahan
menggantikan Damaskus (Syam), aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk
Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar sampai
India, sejak abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka
perjalanan ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan
kerajaan-kerajaan di KepulauanIndonesia menjadi langsung. Hubungan ini menjadi
semakin ramai manakala pedagang Arab dilarang masuk ke Cina dan koloni mereka
dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879
H. Orang–orang Islam melarikan diri dari pelabuhan Kanton dan meminta
perlindungan Raja Kedah dan Palembang.
Pusat Perdagangan Serta Jalur
Pelayaran Setelah Jatuhnya Malaka
Ket. Peta jaringan pelayaran dan perdagangan pada akhir abad
ke-15. Keterangan: I.Malaka; II.Samudera Pasai; III.Banten; IV.Demak; V.Banjar;
VI.Makassar; VII.Ternate & Tidore.
Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha
Portugis selanjutnya untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut, mendorong
para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dengan melintasi Semenanjung
atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda. Pergeseran ini melahirkan pelabuhan
perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan
lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak
laut. Perompakan laut sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang ramai,
tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat. Perompakan itu
sesungguhnya merupakan bentuk kuno kegiatan dagang. Kegiatan tersebut dilakukan
karena merosotnya keadaan politik dan mengganggu kewenangan pemerintahan yang
berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial.
Akibat dari aktivitas bajak laut, rute pelayaran perdagangan
yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir Sumatra dan
Sunda. Dengan jalan demikian, mereka tetap dapat melanjutkan usaha
perdagangannya secara aman. Sehingga, penyaluran komoditas ekspor
(rempah-rempah) dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah tatap dapat dikuasai.Pusat-pusat
perdagangan dan kekuasaan yang sebelum Malaka jatuh sudah ada kemudian menjadi
berkembang pesat. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan
Barus, Pariaman, dan Tiku.
Pusat- pusat perdagangan dan kekuasaan yang berkembang pesat
setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 antara lain, Aceh,
Banten, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, Ternate dan Tidore
2.3 Kehidupan
perdagangan islamisasi nusantara
Komoditas Perdagangan Nusantara
Perdagangan
pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terkonsentrasi pada perdagangan
cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) dibawa barang komoditi ke
Somba Opu, ibukota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16
telah menjalin hubungan perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan,
dan Maluku. Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung komoditi
cengkih yang datang dari Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditi pala
berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh para pedagang
Jawa, Cina, Arab, dan Makassar. Kehadiran pedagang itu mempengaruhi corak
kehidupan dan budaya setempat, antara lain ditemui bekas koloninya seperti
Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar).
Pada abad ke-15, Sulawesi Selatan telah didatangi pedagang
Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat
Muslim di Gowa terutama Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) dan putra
penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin hubungan dagang dengan
Portugis. Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang turut
memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka
beragama Katolik. Kerjasama ini didorong oleh adanya usaha monopoli perdagangan
rempah-rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku.
Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat sekali. Ini
ditandai dengan adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah memeluk
Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah belajar di Madrasah Giri. Ia
dijuluki sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkih, karena membawa cengkeh dari
Maluku sebagai persembahan. Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) hanya
terdapat di Kepulauan Indonesia bagian timur, sehingga banyak barang yang
sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang panjang dari Maluku
sampai ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan adalah putik bunga tumbuhan
hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang
dikeringkan. Satu pohon ini ada yang menghasilkan cengkih sampai 34 kg.
Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore,
Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru berhasil ditanam di
pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.
Kegiatan Ekspor Dan Impor Antar
Pulau Nusantara Dan Internasional
Meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan
internasional, membuat pedagang nusantara mengambil alih peranan India sebagai
pemasok utama bagi pasaran Eropa yang berkembang dengan cepat. Selama periode
(1500- 1530) banyak terjadi gangguan di laut sehingga bandar-bandar Laut Tengah
harus mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon. Oleh karena itu secara
berangsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif,
ditambah dengan adanya perang di laut Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir
(1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) memberikan dukungan yang besar bagi
berkembangnya pelayaran Islam di Samudera Hindia.
Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk
melakukan ekspor dan impor komoditi pada umumnya adalah kota-kota bandar besar
yang beribu kota pemerintahan di pesisir, seperti Banten, Jayakarta, Cirebon,
Jepara - Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudera
Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dari
abad ke-16 sampai ke-18. Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman namun
wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar pulau Jawa yang merupakan hasil
ekspansi Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga memiliki kota-kota bandar,
seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya.
Adapun
Barang dagangan utama yang mendapat prioritas dalam perdagangan antarpulau,
yaitu
a)
lada,
emas, kapur barus, kemenyan, sutera, damar madu, bawang putih, rotan, besi,
katun (Sumatera);
b)
beras,
gula, kayu jati (Jawa);
c)
emas,
intan, kayu-kayuan (Kalimantan);
d)
kayu
cendana, kapur barus, beras, ternak, belerang (Nusa Tenggara);
e)
emas,
kelapa (Sulawesi); dan
f)
perak,
sagu, pala, cengkih, burung cenderawasih, perahu Kei (Maluku dan Papua).
Dalam proses perdagangan telah terjalin hubungan antar etnis
yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian
berkumpul dan membentuk komunitas. Oleh karena itu, muncul nama-nama kampung
berdasarkan asal daerah. Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pakojan,
dan kampong-kampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari
kota-kota yang dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung
Ambon, dan Kampung Bali.
System Jual Beli Dan Mata Uang Yang
Digunakan
Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, system jual
beli barang masih dilakukan dengan cara barter. Sedikit sekali penduduk yang
telah melakukan tukar menukar dengan menggunakan uang. Sistem barter dilakukan antara
pedagang-pedagang dari daerah pesisir dengan daerah pedalaman, bahkan
kadang-kadang langsung kepada petani. Sebab, kegiatan komunikasi dengan
daerah-daerah luar kurang begitu lancar. berlainan dengan di pedalaman,
masyarakat daerah pesisir pantai telah menjalin hubungan yang baik dengan pihak
luar, sehingga sebagian besar penduduk telah menggunakan mata uang dalam
kegiatan perdagangan.
Transaksi itu
dilakukan di pasar, baik di kota maupun desa. Tradisi jual-beli dengan sistem
barter hingga kini masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sederhana yang
berada jauh di daerah terpencil. Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan
perkembangan Islam telah menggunakan mata uang sebagai nilai tukar barang. Mata
uang yang dipergunakan tidak mengikat pada mata uang tertentu, kecuali ada
ketentuan yang diatur pemerintah daerah setempat.
Beberapa
macam mata uang yang telah beredar pada saat itu adalah
- Drama (Dirham), mata uang emas dari Pedir dan Samudera Pasai;
- Tanga, mata uang perak dari Pedir;
- Ceiti, mata uang timah dari Pedir;
- Cash (Caxa), mata uang emas di Banten;
- Picis, mata uang kecil di Cirebon;
- Dinara, mata uang emas dari Gowa-Tallo;
- Kupa, mata uang emas kecil dari Gowa-Tallo;
- Benggolo, mata uang timah dari Gowa-Tallo;
- Tumdaya, mata uang emas di Pulau Jawa; dan
- Mass, mata uang emas di Aceh Darussalam.
Mata
uang asing yang telah digunakan dalam kegiatan perdagangan di Nusantara antara
lain Real (Arab); Yuan dan Cash (Cina).
Pada akhitnya, perdagangan dan kerajaan yang berada di
daerah tepi pantai mengalami kemunduran. Kemunduran perdagangan dan kerajaan
yang berada di daerah tepi pantai disebabkan karena kemenangan militer dan
ekonomi dari Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang
tidak menaruh perhatian pada perdagangan.
2.4 Peran Kepulauan
Indonesia Dalam Perdagangan Dan Pelayaran Di Asia Tenggara
Munculnya
pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat
berikut ini:
1. Pemberi bekal untuk berlayar dari
suatu tempat ke tempat lain.
2. Pemberi tempat istirahat bagi
kapal-kapal yang singgah di Nusantara.
3. Pengumpul barang komoditas yang
diperlukan bangsa lain.
4. Penyedia tempat pemasaran bagi
barang-barang asing yang siap disebarkan keseluruh Nusantara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pedagang-pedagang Islam
yang konflik dengan pedagang-pedagang Portugis menyingkir ke Aceh,
Banten, dan Makasar. Mereka tetap melakukan perdagangan dan pelayaran dengan
pedagang-pedagang luar dengan membuka jalur perdagangan baru melalui sepanjang
Pantai Barat Sumatera.
Pedagang-pedagang Islam dari
Malaka banyak yang mengalihkan kegiatannya ke Aceh. Sehingga Aceh juga
berkembang menjadi pusat perdagangan dan pusat kekuasaan Islam.
Sedangkan di bagian Timur, ada dua pusat perdagangan dan kekuasaan Islam
yang penting, yakni Ternate dan Tidore
3.2 Saran
1. Kita sebagai generasi muda hendaknya
melestarikan budaya dan peninggalan sejarah.
2. Sebagai negara yang mempunyai posisi
strategis yang sering mendapat pengaruh kebudayaan asing hendaknya kita mampu
memfilter sehingga kebudayaan asli Indonesia itu sendiri tidak hilang.
3. Sebagai warga Negara yang cinta pada
tanah air, hendaknya kita mampu menerapkan nilai-nilai budaya yang positif agar
bangsa kita ini menjadi bangsa yang berkarakter.
4. Sebagai manusia yang mempunyai akal
dan pikiran kita hendaknya patuh akan larangan dan perintah Allah SWT.
3.3 Daftar Pustaka
- http://chandrajunitha07.blogspot.co.id/2014/04/islam-dan-jaringan-perdagangan-antar.html
- http://chyput06.blogspot.co.id/2015/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html
- http://ardianaagustin14.blogspot.co.id/2015/05/islam-dan-jaringan-perdagangan-antar.html
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete