Pages

Thursday, 19 October 2017

SEJARAH : Islam Dan Jaringan Perdagangan Antar Pulau


BAB 1 PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kepulauan Indonesia memiliki laut dan daratan yang luas. Para nelayan pergi melaut dan pulang dengan membawa hasil tangkapannya. Begitu juga di pelabuhan terlihat lalu lalang kapal yang membongkar dan memuat barang. Sungguh menakjubkan hamparan laut yang sangat luas ciptaan Tuhan.
Sejak lama laut telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar sukubangsa di Kepulauan Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia. Pelaut tradisional Indonesia telah memiliki keterampilan berlayar yang dipelajari dari nenek moyangsecara turun-temurun. Bagi para pelaut, samudra bukan sekadar suatu bentangan air yang sangat luas. Setiap perubahan warna, pola gerak air, bentuk gelombang, jenis burung, dan ikan yang mengitarinya dapat membantu pelaut dalam mengambil keputusan atau tindakan untuk menentukan arah perjalanan. Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan musim untuk menentukan perjalanan pelayaran dan perdagangan. Kapal pedagang yang berlayar ke selatan menggunakan musim utara dalam Januari atau Februari dan kembali lagi pulang jika angin bertiup dari selatan dalam Juni, Juli, atau Agustus. Angin musim barat daya di Samudera Hindia adalah antara April sampai Agustus, cara yang paling diandalkan untuk berlayar ke timur. Mereka dapat kembali pada musim yang sama setelah tinggal sebentar—tapi kebanyakan tinggal untuk berdagang—untuk menghindari musim perubahan yang rawan badai dalam Oktober dan kembali dengan musim timur laut.
 Jaringan perdagangan dan pelayaran antar pulau di Nusantara terbentuk karena antar pulau saling membutuhkan barang-barang yang tidak ada di tempatnya. Untuk menunjang terjadinya hubungan itu, para pedagang harus melengkapi diri dengan pengetahuan tentang angin, navigasi, pembuatan kapal dan kemampuan diplomasi dagang. Dalam kondisi seperti itu, muncullah saudagar-saudagar dan syahbandar yang berperan melahirkan dan membangun pusat-pusat perdagangan di Nusantara.
1.2  Rumusan Masalah
1.      bagaimana perdagangan nusantara pada masa kuno?
2.      Bagaimana jalur perdagangan antara pulau pada masa islamisasi di nusantara?
3.      Bagaimana Kehidupan perdagangan di nusantara?
4.      Apa peran kepulauan Indonesia dan pelayaran di asia tenggara?

1.3  Tujuan
1.      Mengetahui perdagangan nusantara pada masa kuno
2.      Mengetahui jalur perdagangan antara pulau pada masa islamisasi nusantara
3.      Mengetahui Bagaimana Kehidupan perdagangan islamisasi nusantara
4.      Mengetahui peran kepulauan Indonesia dan pelayaran di asia tenggara



BAB II PEMBAHASAN

2.1 Perdagangan Antarpulau Di Indonesia Pada Masa Kuno
Kawasan nusantara terdiri dari beribu-ribu pulau yang memanjang dari barat sampai ke timur. Diantara pulau satu dengan lainnya itu telah terjalin hubungan yang berlangsung sejak dulu, diantaranya hubungan perdagangan, terutama pada masa kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Berlangsungnya interaksi perdagangan antara lain harus didukung pengetahuan tentang angin. Indonesia yang diapit dua benua dan dua samudera besar, wilayahnya dilalui garis khatulistiwa, sehingga Indonesia memiliki iklim muson, yaitu iklim yang ditandai pergantian arah angin yang berlangsung selama enam bulan sekali di daerah khatulistiwa. Dengan memanfaatkan pengetahuan tentang perubahan arah angin, maka di sekitar bulan September-Oktober kapal-kapal yang berada di sebelah timur akan berlayar ke sebelah barat. Sebaliknya, pada sekitar bulan Maret-April kapal-kapal berlayar dari barat ke arah timur.
Semula kegiatan perdagangan di nusantara bersifat insidental, namun lambat laun terjadi perubahan menjadi kegiatan yang berlangsung terus menerus, ramai, dan semakin menguntungkan. Dengan demikian muncullah beberapa pusat perdagangan yang dimiliki kerajaan-kerajaan yang wilayahnya menjangkau pantai. Adapun pusat-pusat perdagangan sebelum tahun 1500 antara lain berpusat di sumatera tengah abad ke-5/6, sriwijaya abad ke-7/14, melayu abad ke-14, bali abad ke-11, pajajaran abad ke-11, pajajaran abad ke-8 sampai ke-16, majapahit abad ke-13/14, gowa-tallo abad ke-2, ternate dan tidore abad ke-13, samudera pasai abad ke-13, dan sebagainya.

2.2 jalur perdagangan antara pulau pada masa islamisasi di nusantara
Kehadiran Para Pedagang Dari Berbagai Negara Ke Kerajaan islam

Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Samudera Pasai dan Malaka yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke-13 sampai abad ke-15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan adanya komunitas-komunitas Muslim dipesisir utara Jawa Timur. Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memberikan gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik regional maupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari berbagai negeri dan bangsa di Samudera Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome Pires, kita dapat mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional.
Hubungan Perdagangan Arab Dan Nusantara
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi hubungan langsung dan dalam intensitas tinggi. Dengan demikian aktivitas perdagangan dan pelayaran di Samudera Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat dengan makin majunya perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan ditetapkannya Baghdad menjadi pusat pemerintahan menggantikan Damaskus (Syam), aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar sampai India, sejak abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan kerajaan-kerajaan di KepulauanIndonesia menjadi langsung. Hubungan ini menjadi semakin ramai manakala pedagang Arab dilarang masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam melarikan diri dari pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan Raja Kedah dan Palembang.




Pusat Perdagangan Serta Jalur Pelayaran Setelah Jatuhnya Malaka



Ket. Peta jaringan pelayaran dan perdagangan pada akhir abad ke-15. Keterangan: I.Malaka; II.Samudera Pasai; III.Banten; IV.Demak; V.Banjar; VI.Makassar; VII.Ternate & Tidore.
Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha Portugis selanjutnya untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda. Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak laut. Perompakan laut sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang ramai, tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat. Perompakan itu sesungguhnya merupakan bentuk kuno kegiatan dagang. Kegiatan tersebut dilakukan karena merosotnya keadaan politik dan mengganggu kewenangan pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial.
Akibat dari aktivitas bajak laut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda. Dengan jalan demikian, mereka tetap dapat melanjutkan usaha perdagangannya secara aman. Sehingga,  penyaluran komoditas ekspor (rempah-rempah) dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah tatap dapat dikuasai.Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang sebelum Malaka jatuh sudah ada kemudian menjadi berkembang pesat. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Pariaman, dan Tiku.
Pusat- pusat perdagangan dan kekuasaan yang berkembang pesat setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 antara lain, Aceh, Banten, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, Ternate dan Tidore

2.3 Kehidupan perdagangan islamisasi nusantara
Komoditas Perdagangan Nusantara
Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terkonsentrasi pada perdagangan cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) dibawa barang komoditi ke Somba Opu, ibukota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16 telah menjalin hubungan perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan, dan Maluku. Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung komoditi cengkih yang datang dari Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditi pala berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh para pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Makassar. Kehadiran pedagang itu mempengaruhi corak kehidupan dan budaya setempat, antara lain ditemui bekas koloninya seperti Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar).
Pada abad ke-15, Sulawesi Selatan telah didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Muslim di Gowa terutama Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) dan putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin hubungan dagang dengan Portugis. Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang turut memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Katolik. Kerjasama ini didorong oleh adanya usaha monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku.
Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat sekali. Ini ditandai dengan adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah belajar di Madrasah Giri. Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkih, karena membawa cengkeh dari Maluku sebagai persembahan. Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di Kepulauan Indonesia bagian timur, sehingga banyak barang yang sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang panjang dari Maluku sampai ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan adalah putik bunga tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang dikeringkan. Satu pohon ini ada yang menghasilkan cengkih sampai 34 kg. Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru berhasil ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.
Kegiatan Ekspor Dan Impor Antar Pulau Nusantara Dan Internasional
Meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan internasional, membuat pedagang nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pasaran Eropa yang berkembang dengan cepat. Selama periode (1500- 1530) banyak terjadi gangguan di laut sehingga bandar-bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon. Oleh karena itu secara berangsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, ditambah dengan adanya perang di laut Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) memberikan dukungan yang besar bagi berkembangnya pelayaran Islam di Samudera Hindia.
Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk melakukan ekspor dan impor komoditi pada umumnya adalah kota-kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir, seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara - Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudera Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dari abad ke-16 sampai ke-18. Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman namun wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar pulau Jawa yang merupakan hasil ekspansi Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga memiliki kota-kota bandar, seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya.
Adapun Barang dagangan utama yang mendapat prioritas dalam perdagangan antarpulau, yaitu
a)      lada, emas, kapur barus, kemenyan, sutera, damar madu, bawang putih, rotan, besi, katun (Sumatera);
b)      beras, gula, kayu jati (Jawa);
c)      emas, intan, kayu-kayuan (Kalimantan);
d)     kayu cendana, kapur barus, beras, ternak, belerang (Nusa Tenggara);
e)      emas, kelapa (Sulawesi); dan
f)       perak, sagu, pala, cengkih, burung cenderawasih, perahu Kei (Maluku dan Papua).
Dalam proses perdagangan telah terjalin hubungan antar etnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Oleh karena itu, muncul nama-nama kampung berdasarkan asal daerah. Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pakojan, dan kampong-kampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung Bali.
System Jual Beli Dan Mata Uang Yang Digunakan
Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, system jual beli barang masih dilakukan dengan cara barter. Sedikit sekali penduduk yang telah melakukan tukar menukar dengan menggunakan uang.  Sistem barter dilakukan antara pedagang-pedagang dari daerah pesisir dengan daerah pedalaman, bahkan kadang-kadang langsung kepada petani. Sebab, kegiatan komunikasi dengan daerah-daerah luar kurang begitu lancar. berlainan dengan di pedalaman, masyarakat daerah pesisir pantai telah menjalin hubungan yang baik dengan pihak luar, sehingga sebagian besar penduduk telah menggunakan mata uang dalam kegiatan perdagangan.
 Transaksi itu dilakukan di pasar, baik di kota maupun desa. Tradisi jual-beli dengan sistem barter hingga kini masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sederhana yang berada jauh di daerah terpencil. Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam telah menggunakan mata uang sebagai nilai tukar barang. Mata uang yang dipergunakan tidak mengikat pada mata uang tertentu, kecuali ada ketentuan yang diatur pemerintah daerah setempat.
Beberapa macam mata uang yang telah beredar pada saat itu adalah
  1. Drama (Dirham), mata uang emas dari Pedir dan Samudera Pasai;
  2. Tanga, mata uang perak dari Pedir;
  3. Ceiti, mata uang timah dari Pedir;
  4. Cash (Caxa), mata uang emas di Banten;
  5. Picis, mata uang kecil di Cirebon;
  6. Dinara, mata uang emas dari Gowa-Tallo;
  7. Kupa, mata uang emas kecil dari Gowa-Tallo;
  8. Benggolo, mata uang timah dari Gowa-Tallo;
  9. Tumdaya, mata uang emas di Pulau Jawa; dan
  10. Mass, mata uang emas di Aceh Darussalam.
Mata uang asing yang telah digunakan dalam kegiatan perdagangan di Nusantara antara lain Real (Arab); Yuan dan Cash (Cina).
Pada akhitnya, perdagangan dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai mengalami kemunduran. Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai disebabkan karena kemenangan militer dan ekonomi dari Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan.
2.4 Peran Kepulauan Indonesia Dalam Perdagangan Dan Pelayaran Di Asia Tenggara
Munculnya pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat berikut ini:
1.      Pemberi bekal untuk berlayar dari suatu tempat ke tempat lain.
2.      Pemberi tempat istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di Nusantara.
3.      Pengumpul barang komoditas yang diperlukan bangsa lain.
4.      Penyedia tempat pemasaran bagi barang-barang asing yang siap disebarkan keseluruh  Nusantara.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Pedagang-pedagang Islam yang konflik dengan pedagang-pedagang Portugis menyingkir ke Aceh, Banten, dan Makasar. Mereka tetap melakukan perdagangan dan pelayaran dengan pedagang-pedagang luar dengan membuka jalur perdagangan baru melalui sepanjang Pantai Barat Sumatera.
         Pedagang-pedagang Islam dari Malaka banyak yang mengalihkan kegiatannya ke Aceh. Sehingga Aceh juga berkembang menjadi pusat perdagangan dan pusat kekuasaan Islam. Sedangkan di bagian Timur, ada dua pusat perdagangan dan kekuasaan Islam yang penting, yakni Ternate dan Tidore
3.2 Saran
1. Kita sebagai generasi muda hendaknya melestarikan budaya dan peninggalan sejarah.
2. Sebagai negara yang mempunyai posisi strategis yang sering mendapat pengaruh kebudayaan asing hendaknya kita mampu memfilter sehingga kebudayaan asli Indonesia itu sendiri tidak hilang.
3. Sebagai warga Negara yang cinta pada tanah air, hendaknya kita mampu menerapkan nilai-nilai budaya yang positif agar bangsa kita ini menjadi bangsa yang berkarakter.
4. Sebagai manusia yang mempunyai akal dan pikiran kita hendaknya patuh akan larangan dan perintah Allah SWT.

3.3 Daftar Pustaka
  1. http://chandrajunitha07.blogspot.co.id/2014/04/islam-dan-jaringan-perdagangan-antar.html
  2. http://chyput06.blogspot.co.id/2015/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html
  3. http://ardianaagustin14.blogspot.co.id/2015/05/islam-dan-jaringan-perdagangan-antar.html


1 comment: