BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
belakang
Pada
zaman Jepang, bangsa Indonesia dilarang membentuk organisasi sendiri. Akan
tetapi, jepang sendiri yang membentuk organisasi-organisasi bagi rakyat
Indonesia dengan maksud dipersiapkan untuk membantu jepang jika sewaktu-waktu
dibutuhkan untuk menghadapi pasukan sekutu. sementara para tokoh Indonesia
mencoba memanfaatkan organisasi itu
untuk kepentingan perjuangan. Hal ini juga tampak berhubungan dengan
perkembangan pandangan sikap para tokoh Indonesia dalam menghadapi pendudukan
Jepang. Banyak di antara para tokoh Indonesia yang mencoba memanfaatkan masa
pendudukan Jepang untuk melanjutkan perjuangan menuju kemerdekaan. Mereka
mengambil sikap dan strategi bekerja sama dengan Jepang.
1.2.Rumusan
masalah
1.2.1. Apa
yang dimaksud Gerakan 3A?
1.2.2. Apa
yang dimaksud Putera?
1.2.3. Apa
yang dimaksud MIAI dan Masyumi?
1.2.4. Apa
yang dimaksud Jawa Hokokai?
1.3.
metode
penulisan
1.3.1.
pengumpulan data
Media
Elektronik :
·
www.Sibab4.
Blogspot.com/p/organisasi-yang-bersifat-sosial.html?/
·
www.id.m.wikipedia.org/wiki/Tiga_A
·
www.id.m.wikipedia.org/wiki/jawa_hokokai
·
www.id.m.wikipedia.org/wiki/
masyumi
·
www.id.m.wikipedia.org/wiki/sejarah_nusantara_(1942%25E2%2580%25931945)
Media Cetak:
·
Buku paket siswa sejarah
Indonesia kelas XI semester genap, kurtilas edisi revisi 2017
1.3.2.
pengolah data
Dari
semua sumber informasi yang kami dapatkan kami bahas dan kami uraikan secara
deskriptif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Gerakan 3A
Tiga A adalah propaganda Kekaisaran Jepang pada masa
Perang Dunia II yaitu "Nippon Pemimpin Asia", "Nippon Pelindung
Asia" dan "Nippon Cahaya Asia". Gerakan Tiga A didirikan pada
tanggal 29 Maret 1942. Pelopor gerakan Tiga A ialah Shimizu Hitoshi. Ketua
Gerakan Tiga A dipercayakan kepada Mr. Syamsuddin. Gerakan Tiga A bukanlah
gerakan kebangsaan Indonesia. Gerakan ini lahir semata - mata untuk memikat
hati dan menarik simpati bangsa Indonesia agar mau membantu Jepang. Gerakan
Tiga A pertama kali melakukan kegiatan di Surabaya.
Jepang berusaha agar
perkumpulan ini menjadi wadah propaganda yang efektif. Oleh karena itu, di
berbagai daerah dibentuk komite-komite. Sejak bulan Mei 1942, perhimpunan itu
mulai diperkenalkan kepada masyarakat melalui media massa. Di dalam Gerakan
Tiga A juga dibentuk subseksi Islam yang disebut “Persiapan Persatuan Umat
Islam”. Subseksi Islam dipimpin oleh Abikusno Cokrosuyoso. Ternyata sekalipun
dengan berbagai upaya, Gerakan Tiga A ini kurang mendapat simpati dari rakyat.
Gerakan Tiga A hanya berumur beberapa bulan saja. Jepang menilai perhimpunan
itu tidak efektif. Bulan Desember 1942 Gerakan Tiga A dinyatakan gagal.
Oleh karena kurang berhasil menggerakkan rakyat Indonesia dalam membantu usaha tentara
Jepang, maka gerakan ini dibubarkan pada tahun 1943 dan digantikan oleh Putera. .
2.2. PUTERA
(Pusat Tenaga Rakyat)
Pusat Tenaga Rakyat
atau Putera adalah organisasi yang dibentuk pemerintah Jepang di Indonesia pada
16 April 1943 dan dipimpin oleh Empat Serangkai, yaitu Ir.Soekarno M.Hatta, Ki
Hajar Dewantoro dan K.H Mas Mansyur.
Propaganda Tiga A yang
disebarluaskan oleh Jepang untuk mencari dukungan rakyat Indonesia ternyata
tidak membuahkan hasil memuaskan, karena rakyat justru merasakan tindakan
tentara Jepang yang kejam seperti dalam kerja paksa romusha.
Dukungan
rakyat terhadap Jepang memang tidak seperti awal kedatangannya. Hal ini terjadi
karena sikap dan tindakan Jepang yang berubah. Jepang mulai melarang pengibaran
bendera Merah Putih dan yang boleh dikibarkan hanya bendera Hinomaru serta
mengganti Lagu Indonesia Raya dengan lagu Kimigayo. Jepang mulai membiasakan
mengganti kata-kata banzai (selamat datang) dengan bakero (bodoh). Masyarakat
mulai tidak simpati terhadap Jepang.“Saudara tua” tidak seperti yang mereka
janjikan.
Oleh
sebab itu pemerintah Jepang berupaya mencari dukungan dari para pimpinan rakyat
Indonesia dengan cara membebaskan tokoh-tokoh pergerakan nasional antara lain
Soekarno, Hatta dan Syahrir serta merangkul mereka dalam bentuk kerjasama. Jepang
kemudian mendirikan organisasi pemuda, Pemuda Asia Raya di bawah pimpinan
Sukardjo Wiryopranoto. Organisasi itu juga tidak mendapat sambutan rakyat.
Jepang kemudian membubarkan organisasi itu.
Sementara
perkembangan Perang Asia Timur Raya mulai memojokkan Jepang. Kekalahan Jepang
di berbagai medan pertempuran telah menimbulkan rasa tidak percaya dari rakyat.
Oleh karena itu, Jepang harus segera memulihkan keadaan. Jepang harus dapat
bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasionalis terkemuka, antara lain Sukarno dan
Moh. Hatta. Karena Sukarno masih ditahan di Padang oleh pemerintah Hindia
Belanda, maka segera dibebaskan oleh Jepang. Pada tanggal 9 Juli 1942 Sukarno
sudah berada di Jakarta dan bergabung dengan Moh. Hatta.
Jepang
ingin membentuk organisasi massa yang dapat bekerja untuk menggerakkan rakyat.
Bulan Desember 1942 dibentuk panitia persiapan untuk membentuk sebuah
organisasi massa. Kemudian Sukarno, Hatta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki Hajar
Dewantara dipercaya untuk membentuk gerakan baru. Gerakan itu bernama Pusat
Tenaga Rakyat (Putera) dibentuk tanggal16 April 1943. Mereka kemudian disebut
sebagai empat serangkai. Sebagai ketua panitia adalah Sukarno.
Menurut
struktur organisasinya, Putera memiliki pimpinan pusat dan pimpinan daerah.
Pimpinan pusat dikenal sebagai Empat Serangkai. Kemudian pimpinan daerah
dibagi, sesuai dengan tingkat daerah, yakni tingkat syu, ken, dan gun. Putera
juga mempunyai beberapa penasihat yang berasal dari orang-orang Jepang. Mereka
adalah S. Miyoshi, G. Taniguci, Iciro Yamasaki, dan Akiyama.
Tujuan Putera adalah
untuk membangun dan menghidupkan kembali segala sesuatu yang telah dihancurkan
oleh Belanda, membujuk kaum Nasionalis dan intelektual untuk mengabdikan
pikiran dan tenaganya untuk kepentingan perang melawan Sekutu dan diharapkan
dengan adanya pemimpin orang Indonesia, maka rakyat akan mendukung penuh
kegiatan ini.
Menurut
Jepang, Putera bertugas untuk memusatkan segala potensi masyarakat Indonesia
guna membantu Jepang dalam perang. Di samping tugas di bidang propaganda,
Putera juga bertugas memperbaiki bidang sosial ekonomi.
Latar
belakang gerakan putera berhubungan dengan gerakan BPUPKI dan kemerdekaan
karena gerakan putera dan BPUPKI dibentuk oleh pemerintah jepang, dan orang
orang yang ada di BPUPKI adalah orang orang yang ada di gerakan putera.
hubungannya adalah tidak resmi,karna apabila hubungan itu resmi,maka jepang
mengetahui rencana para pahlawan untuk memerdekakan indonesia..
Pada
awal berdirinya Putera, cepat mendapatkan sambutan dari organisasi massa yang
ada. Misalnya dari Persatuan Guru Indonesia; Perkumpulan Pegawai Pos Menengah;
Pegawai Pos Telegraf Telepon dan Radio; serta Pengurus Besar Istri Indonesia di
bawah pimpinan Maria Ulfah Santoso. Dari kalangan pemuda terdapat sambutan dari
organisasi Barisan Banteng dan dari kelompok pelajar terdapat sambutan dari
organisasi Badan Perantaraan Pelajar Indonesia serta Ikatan Sport Indonesia.
Mereka semua bergabung ke dalam Putera.
Putera
pun berkembang dan bertambah kuat. Sekalipun di tingkat daerah tidak berkembang
baik, namun Putera telah berhasil mempersiapkan rakyat secara mental bagi
kemerdekaan Indonesia. Melalui rapat-rapat dan media massa, pengaruh Putera
semakin meluas. Perkembangan Putera akhirnya menimbulkan kekhawatiran di pihak
Jepang. Oleh karena itu, Putera telah dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin
nasionalis untuk mempersiapkan ke arah kemerdekaan, tidak digunakan sebagai
usaha menggerakkan massa untuk membantu Jepang. Ternyata sikap dan tindakan
para pemimpin nasionalis ini tercium juga oleh penguasa Jepang, maka pada tahun
1944 Putera dinyatakan bubar oleh Jepang. Melalui badan propaganda Jepang ini
Bahasa Indonesia mulai tersebar di kalangan masyarakat Indonesia sekaligus pula
membuat nasionalisme Indonesia semakin kuat.
2.3. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)
dan Majelis Syura Muslimin (Masyumi)
- Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)
Apa itu MIAI?
Majelis Islam A'la
Indonesia atau MIAI adalah badan federasi bagi ormas Islam yang dibentuk dari
hasil pertemuan 18-21 September 1937. KH Hasyim Asy'ari merupakan pencetus
badan kerja sama ini, sehingga menarik hati kalangan modernis seperti KH Mas
Mansur dari Muhammadiyah dan Wondoamiseno dari Syarekat Islam.
MIAI mengoordinasikan
berbagai kegiatan dan menyatukan umat Islam menghadapi politik Belanda seperti
menolak undang-undang perkawinan dan wajib militer bagi umat Islam. KH Hasyim
Asy'ari menjadi ketua badan legislatif dengan 13 organisasi tergabung dalam
MIAI.MIAI dapat berkembang menjadi organisasi besar yang mendapat simpati dari
seluruh umat islam Indonesia sehingga Jepang mulai mengawasi kegiatannya.
Awal
Mula MIAI Diaktifkan Kembali
Berbeda
dengan pemerintah Hindia Belanda yang cenderung anti terhadap umat Islam,
Jepang lebih ingin bersahabat dengan umat Islam di Indonesia. Jepang sangat
memerlukan kekuatan umat Islam untuk membantu melawan Sekutu. Oleh karena itu,
sebuah organisasi Islam MIAI yang cukup berpengaruh pada masa pemerintah
kolonial Belanda, mulai dihidupkankembali oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Pada tanggal 4 September 1942 MIAI diizinkan aktif kembali. Dengan demikian,
MIAI diharapkan segera dapat digerakkan sehingga umat Islam di Indonesia dapat
dimobilisasi untuk keperluan perang.
Dengan
diaktifkannya kembali MIAI, maka MIAI menjadi organisasi pergerakan yang cukup
penting di zaman pendudukan Jepang. MIAI menjadi tempat bersilaturakhim,
menjadi wadah tempat berdialog, dan bermusyawarah untuk membahas berbagai hal
yang menyangkut kehidupan umat, dan tentu saja bersinggungan dengan perjuangan.
MIAI senantiasa menjadi organisasi pergerakan yang cukup diperhitungkan dalam
perjuangan membangun kesatuan dan kesejahteraan umat. Semboyan yang terkenal
adalah “berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah dan janganlah berpecah
belah”. Dengan demikian, pada masa pendudukan Jepang, MIAI berkembang baik.
Kantor pusatnya semula di Surabaya kemudian pindah ke Jakarta.
Adapun tugas dan tujuan MIAI waktu itu adalah
sebagai berikut.
1)
Menempatkan umat
Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia.
2)
Mengharmoniskan
Islam dengan tuntutan perkembangan zaman.
3)
Ikut membantu
Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Untuk merealisasikan tujuan dan melaksanakan tugas
itu, MIAI membuat program yang lebih menitikberatkan pada program-program yang
bersifat sosio-religius. Secara khusus program-program itu akan diwujudkan
melalui rencana sebagai berikut:
1)
pembangunan
masjid Agung di Jakarta,
2)
mendirikan
universitas, dan
3)
membentuk
baitulmal.
Dari ketiga
program ini yang mendapatkan lampu hijau dari Jepang hanya program yang ketiga.
MIAI
terus mengembangkan diri di tengah-tengah ketidakcocokan dengan kebijakan dasar
Jepang. MIAI menjadi tempat pertukaran pikiran dan pembangunan kesadaran umat
agar tidak terjebak pada perangkap kebijakan Jepang yang semata-mata untuk
memenangkan perang Asia Timur Raya. Pada bulan Mei 1943, MIAI berhasil
membentuk Majelis Pemuda
yang
diketuai oleh Ir. Sofwan dan juga membentuk Majelis Keputrian yang dipimpin
oleh Siti Nurjanah. Bahkan dalam mengembangkan aktivitasnya, MIAI juga
menerbitkan majalah yang disebut “Suara MIAI”.
Keberhasilan
program baitulmal, semakin memperluas jangkauan perkembangan MIAI. Dana yang
terkumpul dari program tersebut semata-mata untuk mengembangkan organisasi dan
perjuangan di jalan Allah, bukan untuk membantu Jepang.
Pembubaran MIAI
Arah
perkembangan MIAI ini mulai dipahami oleh Jepang sebagai organisasi yang tidak
memberi konstribusi terhadap Jepang. Hal tersebut tidak sesuai dengan harapan
Jepang sehingga pada November 1943 MIAI dibubarkan. Sebagai penggantinya, Jepang
membentuk Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Harapan dari pembentukan
majelis ini adalah agar Jepang dapat mengumpulkan dana dan dapat menggerakkan
umat Islam untuk menopang kegiatan perang Asia Timur Raya.
- Majelis Syura Muslimin (Masyumi)
Ketua
Masyumi ini adalah Hasyim Asy’ari dan wakil ketuanya dijabat oleh Mas Mansur
dan Wahid Hasyim. Orang yang diangkat menjadi penasihat dalam organisasi ini
adalah Ki Bagus Hadikusumo dan Abdul Wahab.
Masyumi
sebagai induk organisasi Islam, anggotanya sebagian besar dari para ulama.
Dengan kata lain, para ulama dilibatkan dalam kegiatan pergerakan politik.
Masyumi cepat berkembang, di setiap karesidenan ada cabang Masyumi. Oleh karena
itu, Masyumi berhasil meningkatkan hasil bumi dan pengumpulan dana.
Dalam
perkembangannya, tampil tokoh-tokoh muda di dalam Masyumi antara lain Moh.
Natsir, Harsono Cokroaminoto, dan Prawoto Mangunsasmito. Perkembangan ini telah
membawa Masyumi semakin maju dan warna politiknya semakin jelas. Masyumi
berkembang menjadi wadah untuk bertukar pikiran antara tokoh-tokoh Islam dan
sekaligus menjadi tempat penampungan keluh kesah rakyat. Masyumi menjadi
organisasi massa yang pro rakyat, sehingga menentang keras adanya romusa.
Masyumi menolak perintah Jepang dalam pembentukannya sebagai penggerak romusa.
Dengan demikian Masyumi telah menjadi organisasi pejuang yang membela rakyat.
Sikap
tegas dan berani di kalangan tokoh-tokoh Islam itu akhirnya dihargai Jepang.
Sebagai contoh, pada suatu pertemuan di Bandung, ketika pembesar Jepang
memasuki ruangan, kemudian diadakan acara seikerei (sikap menghormati Tenno
Heika dengan membungkukkan badan sampai 90 derajat ke arah Tokyo) ternyata ada
tokoh yang tidak mau melakukan seikerei, yakni Abdul Karim Amrullah (ayah
Hamka). Akibatnya, muncul ketegangan dalam acara itu. Namun, setelah tokoh
Islam itu menyatakan bahwa seikerei bertentangan dengan Islam, sebab sikapnya
seperti orang Islam rukuk waktu sholat. Menurut orang Islam rukuk hanya
semata-mata kepada Tuhan dan menghadap ke kiblat. Dari alasan itu, akhirnya
orang-orang Islam diberi kebebasan untuk tidak melakukan seikerei.
Sejarah
Singkat
Masyumi pada awalnya
didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil A'laa
Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan
masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang
tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman
Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern,
sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII). Selain itu Jepang juga
berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di
pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang
karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai
buruh maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan
nasionalis di dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan
Masyumi.
Masyumi pada zaman
pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat
organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.[12]
Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun
1947.
Nahdlatul Ulama (NU)
adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan
Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi
Masyumi pada saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam
kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik
menjadi sulit dihindari. Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui
surat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952
akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin
melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja. Hubungan antara
Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara politis dan
sempat merenggang pada Pemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan
istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960.
2.4. Jawa Hokokai
Himpunan Kebaktian
Rakjat Djawa merupakan perkumpulan yang dibentuk oleh Jepang pada 1 Maret 1944
sebagai pengganti Putera. Jawa Hokokai merupakan organisasi resmi pemerintah
dan berada langsung di bawah pengawasan pejabat Jepang. Pemimpin tertinggi
perkumpulan ini adalah Gunseikan dan Soekarno menjadi penasihat utamanya.
Jawa Hokokai adalah
organisasi pusat yang anggota-anggotanya terdiri atas bermacam-macam hokokai
(himpunan kebaktian) sesuai dengan bidang profesinya. Misalnya Kyoiku Hokokai
(kebaktian para pendidik guru-guru) dan Isi Hokokai (wadah kebaktian para dokter).
Jawa Hokokai juga mempunyai anggota istimewa, seperti Fujinkai (organisasi
wanita), dan Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan). Di dalam membantu
memenangkan perang, Jawa Hokokai telah berusaha antara lain dengan pengerahan
tenaga dan memobilisasi potensi sosial ekonomi, misalnya dengan penarikan hasil
bumi sesuai dengan target yang di tentukan. Perkumpulan ini adalah pelaksana
pengerahan atau mobilisasi (penggerakan) barang yang berguna untuk kepentingan
perang. Keanggotaan Jawa Hokokai adalah para pemuda yang berusia minimal 14
tahun.
Tahun 1944, situasi
Perang Asia Timur Raya mulai berbalik, tentara Sekutu dapat mengalahkan tentara
Jepang di berbagai tempat. Hal ini menyebabkan kedudukan Jepang di Indonesia
semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, Panglima Tentara ke-16, Jenderal
Kumaikici Harada membentuk organisasi baru yang diberi nama Jawa Hokokai
(Himpunan Kebaktian Jawa). Untuk menghadapi situasi perang tersebut, Jepang
membutuhkan persatuan dan semangat segenap rakyat baik lahir maupun batin.
Rakyat diharapkan memberikan darma baktinya terhadap pemerintah demi kemenangan
perang. Kebaktian yang dimaksud memuat tiga hal:
1) mengorbankan
diri,
2) mempertebal
persaudaraan, dan
3) melaksanakan
suatu tindakan dengan bukti.
Susunan dan
kepemimpinan organisasi Jawa Hokokai berbeda dengan Putera. Jawa Hokokai
benar-benar organisasi resmi pemerintah. Oleh karena itu, pimpinan pusat Jawa
Hokokai sampai pimpinan daerahnya langsung dipegang oleh orang Jepang. Pimpinan
pusat dipegang oleh Gunseikan, sedangkan penasihatnya adalah Ir. Sukarno dan
Hasyim Asy’ari. Di tingkat daerah (syu/shu) dipimpin oleh Syucokan/Shucokan dan
seterusnya sampai daerah ku (desa) oleh Kuco (kepala desa/lurah), bahkan sampai
gumi di bawah pimpinan Gumico.
Dengan demikian, Jawa
Hokokai memiliki alat organisasi sampai ke desa-desa, dukuh, bahkan sampai
tingkat rukun tetangga (Gumiatau Tonarigumi). Tonarigumi dibentuk untuk
mengorganisasikan seluruh penduduk dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas
10-20 keluarga. Para kepala desa dan kepala dukuh serta ketua RT bertanggung
jawab atas kelompok masing-masing.
Adapun
program-program kegiatan Jawa Hokokai sebagai berikut:
1) melaksanakan
segala tindakan dengan nyata dan ikhlas demi pemerintah Jepang
2) memimpin
rakyat untuk mengembangkan tenaganya berdasarkan semangat persaudaraan, dan
3) memperkokoh
pembelaan tanah air
Organisasi Jawa Hokokai
ini tidak berkembang di luar Jawa, sehingga Golongan nasionalis di luar Jawa
kurang mendapatkan wadah. Penguasa di luar Jawa seperti di Sumatra berpendapat
bahwa di Sumatra terdapat banyak suku, bahasa, dan adat istiadat, sehingga sulit
dibentuk organisasi yang besar dan memusat, kalau ada hanya lokal di tingkat
daerah saja. Dengan demikian, organisasi Jawa Hokokai ini juga dapat berkembang
sesuai yang diinginkan Jepang.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Jepang
membentuk Organisasi-organisasi kemasyarakatan bertujuan untuk menarik simpati
dari rakyat Indonesia. Banyak tokoh-tokoh nasionalis yang diangkat ke dalam
organisasi tersebut semata-mata hanya sebagai penggerak supaya rakyat Indonesia
pro dengan organisasi yang dibentuk jepang. Hal ini dijadikan kesempatan oleh
tokoh-tokoh nasionalis untuk menggerakkan rakyat menuju kemerdekaan Indonesia
yang sebenarnya bukanlah tujuan dari terbentuknya organisasi-organisasi
tersebut yang tidak lain untuk membantu jepang.
3.2. Saran
Penulis berharap supaya kita sebagai
generasi dari bangsa Indonesia dapat memahami peristiwa sejarah mengenai
penjajahan jepang di Indonesia. Dari makalah ini kita bisa mengambil pelajaran
untuk menggunakan setiap kesempatan yang ada sebagai peluang menuju
keberhasilan seperti yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh nasionalis yang
menggunakan organisasi-organisasi jepang untuk mempersiapkan keme
No comments:
Post a Comment